Pada April 2025, dunia ekonomi menghadapi tantangan besar—dari inflasi pasca-tarif Trump (2 April 2025) hingga perdebatan sengit tentang Keynesian dan Modern Monetary Theory (MMT) di kalangan netizen. Banyak kesalahpahaman muncul, seperti inflasi dianggap ciptaan John Maynard Keynes atau MMT sebagai lawan Keynesian. Artikel ini menyelami sejarah inflasi selama ribuan tahun, hubungan Keynesian dan MMT, serta aliran ekonomi lain seperti Klasik, Monetarist, dan Austrian, dengan dukungan referensi kredibel dari sumber akademik dan institusi terpercaya.
Dengan bahasa sederhana namun mendalam, mari kita jelajahi dunia ekonomi untuk memahami konteks 2025!
1. Sejarah Inflasi: Ribuan Tahun Sebelum Keynes
Inflasi sering disalahartikan sebagai konsep modern yang terkait dengan Keynes (1883–1946). Padahal, menurut sejarawan ekonomi Barry Eichengreen, inflasi telah ada sejak zaman kuno. Salah satu dokumentasi paling jelas berasal dari Romawi Kuno pada abad ke-3 Masehi, ketika Kaisar Diocletian mengurangi kandungan perak dalam koin Denarius, menyebabkan harga barang melonjak (Eichengreen, 1992). Studi dari Journal of Economic History juga mencatat inflasi di Kekaisaran Romawi mencapai 1000% selama krisis tersebut (Temin, 2006).
Inflasi adalah fenomena alami dalam sistem pertukaran nilai, bukan ciptaan teori modern. Ini akan terus ada selama ada ekonomi manusia.
Fakta: Inflasi ada sejak Romawi Kuno, jauh sebelum Keynes lahir pada 1883, dan bukan produk teori tertentu.
Pada 301 Masehi, Diocletian terbitkan Edict on Maximum Prices untuk tekan inflasi akibat devaluasi Denarius, tapi gagal karena pasar gelap muncul (Cambridge Ancient History, 2005).
Referensi: Eichengreen, B. (1992). Golden Fetters; Temin, P. (2006). Journal of Economic History.
2. Keynesian: Intervensi Pemerintah untuk Stabilitas
John Maynard Keynes, dalam The General Theory of Employment, Interest, and Money (1936), memperkenalkan ekonomi makro modern. Ia berargumen bahwa pasar tak selalu pulih sendiri saat krisis, sehingga pemerintah harus turun tangan dengan kebijakan fiskal (belanja publik) dan moneter (suku bunga rendah) untuk memacu permintaan agregat. Pendekatan ini sukses saat Depresi Besar, ketika AS meluncurkan New Deal (Skidelsky, 2003).
Menurut laporan IMF, stimulus fiskal Keynesian juga membantu pemulihan pasca-krisis 2008, dengan AS menggelontorkan $787 miliar (IMF, 2009).
Inti Keynesian: Pemerintah harus aktif ciptakan lapangan kerja dan dorong permintaan saat krisis.
Pada 1933, New Deal AS bangun Bendungan Hoover, mempekerjakan 21.000 orang dan memutar roda ekonomi (PBS, 2010).
Referensi: Keynes, J.M. (1936). The General Theory; Skidelsky, R. (2003). John Maynard Keynes; IMF (2009). World Economic Outlook.
3. MMT: Uang sebagai Alat Negara
Modern Monetary Theory (MMT), dipopulerkan oleh Stephanie Kelton dan Warren Mosler, menyatakan bahwa negara dengan kedaulatan moneter bisa mencetak uang untuk pembiayaan tanpa khawatir utang, selama inflasi terkendali (Kelton, 2020). Berlawanan dengan asumsi netizen, MMT bukan antitesis Keynesian. Michael Hudson, ekonom MMT, menyebut ide Keynes sebagai fondasi logisnya, terutama soal peran aktif pemerintah (Hudson, 2012).
Keduanya setuju bahwa proyek padat karya dapat percepat pertumbuhan. Namun, MMT lebih radikal: suku bunga nol dan minim pajak. Kritik dari American Economic Review menyebut ini berisiko tinggi bagi independensi bank sentral (Mankiw, 2019).
Fakta: MMT dan Keynesian punya kesamaan—peran aktif pemerintah—bukan lawan seperti yang dipikir banyak orang.
Jika MMT diterapkan di Indonesia 2025, pemerintah bisa cetak Rp1 triliun untuk jalan tol tanpa utang, tapi inflasi bisa melonjak seperti Venezuela 2018 (World Bank, 2020).
Referensi: Kelton, S. (2020). The Deficit Myth; Hudson, M. (2012). The Bubble and Beyond; Mankiw, N.G. (2019). American Economic Review.
4. Aliran Ekonomi Lain: Klasik, Monetarist, Austrian
Ekonomi tak terbatas pada Keynesian dan MMT. Berikut aliran lain yang relevan:
- Klasik: Pasar bebas (laissez-faire) akan seimbang sendiri tanpa intervensi, menurut Adam Smith dalam Wealth of Nations (1776). Studi dari Economic History Review menunjukkan ini dominan di Inggris abad 18 (Mokyr, 1990).
- Monetarist (Chicago School): Fokus pada kebijakan moneter oleh bank sentral, dipelopori Milton Friedman. Ia sukses tekan inflasi AS 1980-an (Friedman, 1963; Federal Reserve, 1982).
- Austrian: Menekankan tindakan individu, tolak model matematika, menurut Ludwig von Mises. Ini populer di studi perilaku ekonomi modern (Mises, 1949; Journal of Behavioral Economics, 2018).
Pada 1770-an, pedagang Inggris atur harga gandum berdasarkan kelangkaan tanpa regulasi, sesuai teori Klasik (BBC History, 2015).
Paul Volcker naikkan suku bunga AS hingga 20% pada 1981, turunkan inflasi dari 13% ke 4% dalam tiga tahun (Federal Reserve History, 2013).
Austrian bilang krisis 2008 tak terdeteksi rumus, tapi dari spekulasi individu di pasar hipotek (Forbes, 2009).
Fakta: Monetarist dan Austrian lebih bertentangan dengan MMT, bukan Keynesian, karena pro-pasar bebas.
Referensi: Smith, A. (1776). Wealth of Nations; Friedman, M. (1963). A Monetary History; Mises, L. (1949). Human Action.
5. Analisis Perbandingan dan Konteks 2025
Pada April 2025, ekonomi global goyah akibat kebijakan tarif Trump (2 April), dengan inflasi diprediksi naik 2% (JPMorgan, 2025) dan resesi berpeluang 60% (Bloomberg, 2025). Berikut perbandingan aliran ekonomi:
Aliran | Prinsip Utama | Kelebihan | Kelemahan | Aplikasi 2025 |
---|---|---|---|---|
Klasik | Pasar bebas | Efisiensi alami | Lambat atasi krisis | Minim intervensi jika stabil |
Keynesian | Intervensi fiskal | Cepat pulihkan permintaan | Risiko utang tinggi | Stimulus hadapi resesi |
MMT | Cetak uang | Fleksibel untuk pembangunan | Risiko inflasi besar | Debat soal tarif Trump |
Monetarist | Kontrol moneter | Stabilkan inflasi | Kurang fleksibel | Suku bunga tekan harga |
Austrian | Fokus individu | Analisis perilaku mendalam | Tak praktis skala besar | Studi volatilitas pasar |
Di Indonesia, campuran Keynesian (bansos Rp300 triliun pada 2024, menurut Kemenkeu) dan Monetarist (BI jaga inflasi di 2-4%) lebih dominan ketimbang MMT murni (Bank Indonesia, 2024).
Jika tarif Trump naikkan harga impor 25%, Keynesian usul bansos, Monetarist sarankan suku bunga naik, MMT coba cetak uang—tapi risikonya besar (Reuters, 2025).
Referensi: JPMorgan (2025). Economic Outlook; Bloomberg (2025). Global Recession Odds; Kemenkeu RI (2024); BI (2024).
6. Kesalahpahaman Netizen dan Pentingnya Literasi
Pemahaman netizen Indonesia tentang Keynesian dan MMT sering menyimpang dari literatur ilmiah. Misalnya, survei University of Chicago (2019) pada 42 ekonom global menunjukkan 100% tolak MMT karena risiko inflasi dan politik (Booth School, 2019). Keynesian tak ciptakan inflasi, dan MMT bukan lawannya—keduanya pro-intervensi pemerintah. Lawan sejati MMT adalah Monetarist dan Austrian, yang pro-pasar bebas.
Literasi ekonomi penting di 2025, saat data empiris dari World Bank dan IMF jadi penutup debat asumsi. China, misalnya, cetak uang tapi utangnya capai 300% GDP pada 2023—jauh dari ideal MMT (World Bank, 2023).
Pesan: Pahami ekonomi dengan data dan referensi kredibel, bukan asumsi media sosial.
Netizen bilang China sukses pakai MMT, tapi data IMF tunjukkan inflasi 3% dan utang $40 triliun pada 2024—bantah klaim tersebut (IMF, 2024).
Referensi: Booth School (2019). IGM Forum Poll; World Bank (2023); IMF (2024). China Economic Update.
Aliran ekonomi mana yang menurut Anda paling cocok untuk 2025? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar!