Pasar saham Indonesia sedang berada dalam sorotan setelah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan signifikan sejak awal tahun. Pada 18 Maret 2025, IHSG anjlok lebih dari 5%, memicu trading halt selama 30 menit oleh Bursa Efek Indonesia (BEI), sebuah kejadian yang terakhir kali terjadi saat pandemi COVID-19 pada 2020. Menyikapi situasi ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan kebijakan darurat: mengizinkan perusahaan publik melakukan buyback saham tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) selama enam bulan ke depan, mulai 18 Maret 2025. Apa artinya ini bagi investor, dan bagaimana Anda bisa memanfaatkannya?
Latar Belakang Krisis IHSG
Menurut laporan dari The Jakarta Post (18 Maret 2025), penurunan IHSG sebesar lebih dari 7% pada hari Selasa adalah yang terburuk sejak September 2011. Penyebabnya beragam: ketidakpastian ekonomi domestik, pelemahan konsumsi masyarakat, kebijakan tarif Amerika Serikat, perang dagang global, serta ketegangan geopolitik. Bloomberg (18 Maret 2025) juga mencatat bahwa investor asing telah menarik dana sebesar Rp26,04 triliun dari pasar ekuitas Indonesia sepanjang tahun ini, menambah tekanan pada IHSG yang kini turun lebih dari 8% secara year-to-date.
Di tengah kondisi ini, OJK bergerak cepat. Inarno Djajadi, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, menyatakan bahwa kebijakan buyback tanpa RUPS diharapkan memberikan sinyal positif bahwa perusahaan memiliki fundamental kuat dan meningkatkan kepercayaan investor (Jakarta Globe, 18 Maret 2025). Kebijakan ini bukan yang pertama kali; langkah serupa pernah diterapkan pada 2013, 2015, dan 2020 saat pandemi.
Apa Itu Buyback dan Bagaimana Dampaknya?
Buyback adalah strategi di mana perusahaan membeli kembali sahamnya sendiri dari pasar. Menurut Global Compliance News (2 April 2020), dalam kondisi pasar yang berfluktuasi signifikan, OJK memperbolehkan buyback hingga 20% dari modal disetor, asalkan minimal 7,5% saham tetap beredar di publik. Tujuannya:
- Mengurangi Pasokan Saham: Dengan berkurangnya saham di pasar, harga saham bisa naik karena efek kelangkaan, asalkan permintaan stabil.
- Stabilisasi Harga: Buyback sering menjadi “bantalan” saat pasar bearish, mencegah penurunan harga yang lebih dalam.
- Sinyal Optimisme: Ketika perusahaan membeli sahamnya sendiri, ini menunjukkan keyakinan manajemen bahwa sahamnya undervalued, yang bisa menarik investor kembali.
Namun, dampaknya tidak selalu instan. Tempo.co (18 Maret 2025) melaporkan bahwa meskipun kebijakan ini berlaku, IHSG tetap tertekan pada 20 Maret, menunjukkan bahwa sentimen pasar masih dipengaruhi faktor makro yang lebih besar.
Peluang dan Risiko bagi Investor
Bagi investor, situasi ini membuka peluang sekaligus risiko. Berikut panduan praktis berdasarkan analisis terkini:
Peluang
- Saham Undervalued: Banyak saham blue-chip, terutama BUMN dalam program Danantara, kini diperdagangkan di bawah nilai wajar karena tekanan pasar. Buyback bisa menjadi pemicu kenaikan harga jangka pendek. Contohnya, bank besar seperti BRI atau BNI disebut-sebut tengah mempersiapkan buyback (Jakarta Globe, 18 Maret 2025).
- Momentum Rebound: Jika perusahaan besar mulai membeli sahamnya, ini bisa memicu aktivitas beli dari investor ritel dan institusi, mendorong IHSG naik dari level terendahnya (6.223,39 pada 18 Maret).
- Kebijakan OJK Fleksibel: Dengan batas waktu enam bulan, investor punya jendela untuk memantau emiten yang serius melakukan buyback dan mengambil posisi sebelum harga pulih.
Risiko
- Efek Terbatas: Buyback tidak akan efektif jika hanya dilakukan dalam skala kecil. Data historis dari krisis 2020 menunjukkan bahwa hanya emiten dengan kapitalisasi besar yang mampu menggerakkan pasar (CNBC Indonesia, 9 Maret 2020).
- Ketidakpastian Makro: Analis dari Capital Economics (dikutip The Jakarta Post, 18 Maret 2025) memperingatkan bahwa kekhawatiran terhadap kebijakan fiskal dan peran negara di era Presiden Prabowo Subianto bisa terus menekan IHSG, terlepas dari buyback.
- Likuiditas Perusahaan: Buyback membutuhkan dana besar. Jika perusahaan memaksakan buyback tanpa likuiditas yang cukup, ini bisa melemahkan posisi keuangan mereka, yang justru merugikan investor jangka panjang.
Strategi untuk Investor
- Fokus pada Emiten Kuat: Cari perusahaan dengan fundamental solid (laba konsisten, rasio utang rendah) yang mengumumkan buyback. Pantau pengumuman resmi ke OJK dan BEI dalam beberapa hari ke depan.
- Diversifikasi: Jangan all-in pada satu saham hanya karena ada buyback. Krisis saat ini bersifat sistemik, jadi sebarkan risiko Anda di berbagai sektor.
- Pantau Sentimen Global: IHSG sangat dipengaruhi outflow asing. Ikuti perkembangan kebijakan tarif AS dan harga komoditas ekspor Indonesia seperti minyak sawit dan batu bara.
- Gunakan Analisis Teknikal: Level support IHSG saat ini ada di sekitar 6.000-6.100. Jika buyback gagal mendorong rebound, bersiaplah untuk potensi penurunan lebih lanjut.
Kesimpulan
Kebijakan buyback OJK adalah langkah proaktif untuk menstabilkan IHSG di tengah krisis. Bagi investor, ini adalah peluang untuk membeli saham undervalued dengan potensi rebound, tetapi tetap harus diimbangi dengan kehati-hatian terhadap risiko makroekonomi. Seperti yang dikatakan Inarno Djajadi, “Kami beri fleksibilitas, tapi pasar yang menentukan hasilnya.” Jadi, perbanyak literasi, kurangi emosi, dan ambil keputusan berdasarkan data. Pasar mungkin sedang sulit, tapi bagi investor cerdas, setiap krisis adalah peluang.
Catatan: Artikel ini disusun berdasarkan informasi dari sumber kredibel seperti The Jakarta Post, Bloomberg, Jakarta Globe, Tempo.co, dan CNBC Indonesia, serta peraturan OJK yang relevan. Selalu lakukan riset tambahan sebelum mengambil keputusan investasi.